Zakii - - Sastra inggris
Look up Down .


 

FUNGSI SASTRA

Hingga saat ini, belum bisa dibedakan fungsi sastra dan sifat sastra. Seperti kejadian dimasa lampau dimana sastra, filsafat dan agama tidak bisa dibedakan secara gamblang. Seperti karya-karya sastrawan Yunani.
Penyair dan cerpenis Edgar Allan Poe mengatakan bahwa sastra berfungsi menghibur, dan sekaligus mengajarkan sesuatu. Contohnya puisi, jika dikatakan sebagai media yang dapat menghibur berarti tidak menghargai ketekunan, keahlian dan perencanaan sungguh-sungguh penyairnya, dan berarti tidak menganggap puisi sebagai karya yang serius dan penting. Sebaliknya, jika puisi itu kerja atau keahlian, berarti melupakan kesenangan yang ditimbulkan oleh puisi.
Fungsi sastra harus sesuai dengan sifatnya yakni menyenangkan dan bermanfaat. Kesenangan yang tentunya berbeda dengan kesenangan yang disuguhkan oleh karya seni lainnya. Kesenangan yang lebih tinggi, yaitu kontemplasi yang tidak mencari keuntungan. Dan juga memberikan manfaat keseriusan. Keseriusan yang menyenangkan, estetis dan keseriusan persepsi. Sehingga ini berarti karya sastra tidak hanya memberikan hiburan kepada peminatnya tetapi juga tidak melupakan keseriusan pembuatnya.
Selain menampilkan unsur keindahan, hiburan dan keseriusan, karya sastra juga cenderung membuktikan memiliki unsur pengetahuan. Contohnya puisi, keseriusan puisi terletak pada segi pengetahuan yang disampaikannya. Jadi puisi dianggap sejenis pengetahuan. Seperti yang dikatakan oleh filosof terkenal Aristoteles bahwa puisi lebih filosofis dari sejarah karena sejarah berkaitan dengan hal-hal yang telah terjadi, sedangkan puisi berkaitan dengan hal-hal yang bisa terjadi, yaitu hal-hal yang umum dan yang mungkin.
Lain lagi dengan novel. Para novelis dapat mengajarkan lebih banyak tentang sifat-sifat manusia daripada psikolog. Karena novelis mampu mengungkapkan kehidupan batin tokoh-tokoh pada novel yang ditulisnya. Sehingga ada yang berpendapat bahwa novel-novel bisa dijadikan sumber bagi para psikolog atau menjadi kasus sejarah yang dapat memberikan ilustrasi dan contoh. Bahkan bisa dikatakan bahwa novelis menciptakan dunia yang mengandung nilai kebenaran dan pengetahuan sistematis yang dapat dibuktikan.
Fungsi sastra, menurut sejumlah teoretikus, adalah untuk membebaskan pembaca dan penulisnya dari tekanan emosi. Mengekspesikan emosi berarti melepaskan diri dari emosi itu. Contohnya ketika penonton drama dan pembaca novel yang bisa mengalami perasaan lega dalam artian bisa melepaskan emosinya. Namun hal ini masih dipertanyakan karena banyak novel yang ditulis atas dasar curahan emosi penulisnya sehingga pembaca pun bisa merasakan emosi yang menekan penulisnya.
Jadi, pertanyaan mengenai apa fungsi sastra sebenarnya belum dapat dijelaskan dengan tepat karena yang bisa merasakan fungsi sastra adalah si pembaca itu sendiri. Apakah ia mendapatkan pengetahuan, hiburan, nilai kebenaran, nilai psikologis dan lain sebagainya.

terima kasih kepada mba uchie amstrong atas panduanx ..

SASTRA DAN STUDI SASTRA

Sastra adalah suatu kegiatan kreatif, sebuah karya seni. Sedangkan studi sastra adalah cabang ilmu pengetahun khususnya yang menyangkut tentang sastra. Namun, tidak sedikit dari ilmuwan-ilmuwan yang mengaburkan perbedaan ini. Ada yang berpendapat bahwa kita tidak bisa mempelajari atau menelaah sastra jika tidak mencoba membuat karya sastra seperti puisi atau drama. Pendapat tersebut memang ada benarnya, namun seorang penelaah sastra hanyalah seseorang yang menerjemahkan hasil telaah sastranya ke dalam bahasa ilmiah yang indah.
Adapun yang berpendapat bahwa karya sastra juga mencakup hasil karya kedua atau second creation seperti karya Walter Pater penyair Inggris abad-19 yang mendeskripsikan karya Leonardo Da Vinci, Mona Lisa, ke dalam tulisan. Padahal bagi kita itu hanyalah sebuah tiruan dan bukan sebuah karya sastra.
Bahkan banyak yang berpendapat bahwa sastra tidak dapat ditelaah. Tak lain hanya bisa dibaca, dinikmati dan diapresiasi. Jika hal tersebut benar, lalu bagaimana sastra itu bisa berkembang? Bagaimana sastra itu dapat diapresiasi jika tidak ditelaah lebih jauh. Bagaimana seorang penyair bisa berkarya lebih baik lagi jika tanpa telaah atau kritikan terhadap karyanya?
Mungkin yang diperlukan di sini adalah pemahaman atau pendekatan terhadap seni, kekhasan sebuah karya sastra. Lalu bagaimana caranya? Salah satu jawaban adalah dengan menerapkan metode ilmu alam ke dalam studi sastra. Mulai dari asal, penyebab, kondisi-kondisi yang mendukung terbentuknya sastra seperti kondisi ekonomi, sosial bahkan konsep geografi bahkan biologi dalam menelusuri evolusi sastra.
Pendapat lain mengatakan bahwa sastra tidak dapat terbentuk tanpa adanya sumbangan dari ilmu budaya. Ilmu alam juga berperan dalam perkembangan studi sastra namun ilmu budaya juga sangat berperan terhadap perkembangan studi sastra. Yang perlu diperhatikan adalah tujuan ilmu alam berbeda dengan ilmu budaya. Banyak ilmuwan maupun sejarawan yang berpendapat bahwa ilmu alam hanya mencakup fakta-fakta atau hukum-hukum yang bersifat umum sedangkan ilmu budaya lebih memprioritaskan fakta-fakta yang bersifat khusus atau individual.
Untuk membuktikan hal tersebut, kita bisa memahami pendapat yang mengatakan bahwa kebanyakan orang menyukai Shakespeare karena kekhasannya, bukan karena persamaannya dengan orang lain.
Jadi, karya sastra pada dasarnya bersifat umum namun juga khusus. Karya sastra dibangun dari kata-kata yang bersifat ‘umum’. Karya sastra memang memiliki ciri khas tertentu tetapi juga memiliki sifat-sifat yang sama dengan karya seni yang lain.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa karya sastra dapat digeneralisasikan sesuai periode tertentu atau sesuai dengan kesenian pada umumnya tapi dengan memperhatikan kritik sastra dan sejarah sastra yang lebih memprioritaskan kekhasan sebuah karya sastra.




SASTRA UMUM, SASTRA BANDINGAN, DAN SASTRA NASIONAL

Dalam studi sastra, perlu dipelajari tentang perbedaan antara sastra umum, sastra bandingan, dan sastra nasional. Dari ketiga istilah sastra ini, istilah “sastra bandingan” adalah yang paling rumit untuk dijelaskan pengertian dan penggambarannya. Bahkan, jenis studi yang penting ini kurang sukses secara akademis.

Sastra bandingan digunakan oleh para ilmuwan sebagai media dalam proses kritik sastra. Terdapat tiga proses penggambaran mengenai ”sastra bandingan”.

Pada mulanya, sastra ini dipakai untuk studi sastra lisan. Seperti cerita-cerita rakyat, legenda, dongeng, dan sebagainya. Pada proses ini, sastra lisan dibandingkan dengan sastra tulisan. Ada yang berpendapat bahwa sastra lisan hanya mengandung nilai-nilai budaya, adat istiadat tanpa unsur estetika. Namun, justru pendapat ini keliru. Karena, banyak karya sastra tulisan golongan atas yang mengambil tema dari kesusastraan rakyat sehingga meningkatkan status sosial. Jadi, sastra bandingan bukanlah hanya menyangkut sastra lisan secara khusus.

Pada proses ini, sastra bandingan mencakup studi hubungan antara dua kesusastraan atau lebih. Dalam hal ini, masalah yang timbul adalah mengenai masalah perbandingan karya-karya sastra. Misalnya, perbandingan karya sastra Inggris dan karya sastra Perancis. Perbandingan mengenai ketenaran, pengaruh, dan sebagainya. Namun, hal ini pula menjadi masalah baru yakni menjadikan para ilmuwan bosan berurusan dengan fakta, sumber dan pengaruh.

Pada proses ini, sastra bandingan disamakan dengan sastra menyeluruh. Namun, Paul van Tieghem mencoba mengkontraskannya. Menurutnya, sastra umum mempelajari tentang gerakan dan aliran sastra yang melampaui batas nasional. Sedangkan sastra bandingan mempelajari hubungan dua kesusastraan atau lebih. Tetapi, hal ini pun tidak bisa diterima begitu saja. Misalnya, orang tidak dapat membandingkan kepopuleran karya sastra sejarah yang melegenda dengan kepopuleran karya sastra umum di seluruh dunia.

Selain perbedaan sastra bandingan dengan sastra umum, masalah lain yang timbul adalah mengenai perbedaan antara sastra universal dengan sastra nasional. Sastra nasional dianggap sebagai kawasan tertutup dibanding dengan sastra universal. Namun, pada kenyataannya sastra universal sangat berkaitan dengan sastra nasional. Seperti ruang lingkup sastra Eropa. Sastra yang membahas kesusastraan Inggris, Jerman, atau Perancis yang saling berkaitan mengenai sejarah, tema, bahasa dan sebagainya.


TEORI, KRITIK, DAN SEJARAH SASTRA

Dalam studi sastra, perlu dipahami antara teori, kritik dan sejarah sastra. Setiap teori, kritik, dan sejarah sastra sudah banyak ilmuwan yang menggeluti ilmu tersebut. Seperti Aristoteles selaku teoretikus sastra, Sainte-Beuve yang menonjol sebagai kritikus, dan Frederick A. Pottle, yang mempelajari sejarah sastra.
Teori, kritik, dan sejarah sastra tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Ketiganya saling berhubungan. Untuk mempelajarinya, kita harus memilah perbedaan sudut pandang yang mendasar. Kesusastraan dapat dilihat sebagai deretan karya yang sejajar, atau yang tersusun secara kronologis dan merupakan bagian dari proses sejarah. Teori sastra adalah studi prinsip, kategori, dan kriteria, sedangkan kritik sastra dan sejarah sastra merupakan studi karya-karya kongkret. Ada yang berusaha memisahkan pemahaman dari teori, kritik, dan sejarah sastra. Bagaimana dapat disimpulkan bahwa ketiga hal itu dapat dikaji satu persatu sementara di dalam buku teori sastra saja sudah termasuk di dalamnya kritik dan sejarah sastra. Sehingga, tak mungkin dapat disusun teori sastra tanpa kritik sastra atau sejarah sastra, sejarah sastra tanpa kritik sastra dan teori sastra, dan kritik sastra tanpa teori sastra dan sejarah sastra.
Teori sastra dapat disusun berdasarkan studi langsung terhadap karya sastra dan itu secara otomatis perlu mengakaji sejarah serta kritik-kritik mengenai suatu pendapat tentang sastra. Sebaliknya, kritik sastra dan sejarah sastra tidak mungkin dikaji tanpa satu set pertanyaan, suatu sistem pemikiran, acuan dan generalisasi.
Mengenai kritik dan sejarah sastra, ada yang berusaha untuk memisahkannya. Berawal dari pendapat bahwa sejarah sastra mempunya kriteria dan standarnya sendiri, yaitu kriteria dan nilai zaman yang sudah lalu. Sehingga perlu menelusuri alam pikiran dan sikap orang-orang dari zaman yang dipelajari. Pandangan sejarah semacam ini menuntut kemampuan imajinasi, empati dengan masa silam dan selera masa silam mengenai rekonstruksi sikap hidup, kebudayaan dan sebagainya. Hal ini dapat diasumsikan bahwa pengarang bermaksud untuk menggambarkan keadaan zaman lampau. Sehingga maksud pengarang tersebut menjadikan tugas zaman dan karyanya tidak perlu diulas lagi dan kritik sastra pun sudah selesai.
Jika hanya menjabarkan makna dan kehidupan zaman lampau yang digambarkan oleh pengarang berarti pembaca hanya bisa menoleh ke zaman pengarang tersebut. Tidak melihat ke masa kini. Sementara zaman lampau sangat berbeda dengan zaman sekarang. Pembaca tentu memiliki imajinasi dan interpretasi sendiri yang jauh berbeda dengan yang mengalami masa lampau itu. Contohnya drama Hamlet. Jika direkonstruksi oleh kritikus sekarang justru dapat menghilangkan makna drama tersebut. Sebaiknya sejarawan sastra bisa menyoroti karya sastra dengan sudut pandang zaman yang berbeda antara zaman pengaran dan kritikusnya atau melihat keseluruhan sejarah interpretasi dan kritik pada karya untuk memperoleh makna yang lebih menyeluruh.
Jadi, sejarah sastra sangat penting untuk kritik sastra. Kalau seorang kritikus yang tidak peduli pada hubungan sejarah tentu penilaiannya akan meleset. Ia tidak akan tahu status karya itu asli atau palsu dan ia cenderung memberikan penilaian yang sembrono. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pemisahan kritik sastra dan sejarah sastra sangat merugikan keduanya.

Hari ini beberapa orang telah mengunjungi 1 visitors (3 hits) hore ..
This website was created for free with Own-Free-Website.com. Would you also like to have your own website?
Sign up for free